Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak zaman Kesultanan Islam Nusantara, tentu saja dengan kewenangan yang amat luas, tidak hanya menyelesaikan perkara perdata, tapi juga pidana. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Kesultanan Islam Nusantara berlandaskan konstitusi yang bersumber dari norma-norma hukum Islam dan peradilan sebagai salah satu cabang kekuasaan negara tentu menegakkan hukum yang sejalan dengan konstitusi negara.
Seiring bercokolnya kekuasaan Penjajah Belanda eksistensi dan kompetensi Peradilan Agama secara sistematis dikeberi, pelan tapi pasti kewenangan peradilan agama direduksi sampai ke titik nadir, sebagai peradilan abal-abal dengan sisa kewenangan di bidang perceraian an sich.
Mula-mula pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad 1835 No. 58. Dalam staatsbalad tersebut Peradilan Agama masih dibolehkan menangani sengketa harta terkait dengan hukum keluarga: harta bersama, hibah, waris dan sejenisnya. Tak nyaman dengan Peradilan Agama yang eksis dalam menangani sengketa harta dalam hukum keluarga, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad 1882 Nomor 152 dan direvisi dengan Staatsblad 1937 No. 610 dan 616. Kedua Staatsblad tersebut membatasi kewenangan Peradilan Agama hanya sebatas menyelesaikan perkara berkenaan dengan nikah, talak, rujuk dan perceraian dan mempersaksikan bahwa syarat taklik sudah berlaku.
Ketentuan ini menuai protes dari kalangan tokoh Muslim, karena telah melemahkan status dari lembaga Peradilan Agama dengan meniadakan kewenangan bidang harta keluarga, termasuk kewarisan. Setelah dilakukan protes oleh tokoh Islam pemerintah Hindia Belanda tidak mencabut Staatsblad tersebut, tetapi malah mengeluarkan Staatsblad 1937 No. 610, yaitu membentuk Mahkamah Islam Tinggi dan juga membentuk Peradilan Agama di luar Jawa dengan sebutan Kerapatan Qadi untuk tingkat pertama dan Kerapatan Qodi Besar untuk tingkat banding. Kerapatan Qodi dibentuk di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yaitu Banjarmasin, Martapura, Kandangan, Barabai, Amuntai dan Tanjung.
Setelah Indonesia merdeka secara perlahan kewenangan Peradilan Agama yang dipreteli Kolonial Belanda mulai berangsur kembali berkat kegigihan para mujahid hukum Islam Indonesia. Tahun 1957 lahir Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang salah satu pasalnya, yakni Pasal 4 menggariskan bahwa Peradilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa nikah, talak, rujuk, fasakh, nafakah, maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah dan sebagainya, hadlanah, perkara waris malwaris, wakaf, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain.
Sejatinya Peraturan pemerintah ini merupakan payung hukum pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura yang sekaligus menentukan kewenangan absolutnya. Namun dengan lahirnya peraturan pemerintah ini muncul dualisme Peradilan Agama, yaitu antara Peradilan Agama di Jawa dan Madura dan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura. Peradilan Agama di Jawa dan Madura tidak mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa harta (baca waris), sementara Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura berwenang menyelesaikan sengketa waris. Perbedaan ini menimbulkan yurisdiksi yang berbeda pula, sengketa waris orang-orang Muslim yang terdapat di luar Jawa dan Madura di selesaikan di Peradilan Agama, sementara itu di Jawa dan Madura masih tetap diselesaikan di peradilan umum dengan mempergunakan hukum adat.
Baca Juga : Optimalisasi Aplikasi E-Filling
Tidak adanya kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa waris di Jawa dan Madura, tidak berarti bahwa Pengadilan Agama (bukan peradilan karena tidak termasuk Pengadilan Tinggi Agama) tidak mengeluarkan produk pengadilan untuk menyelesaikan waris. Pada masa tersebut Pengadilan Agama hanya menyelesaikan waris yang tidak menimbulkan sengketa. Penyelesaian yang dilakukan oleh Pengadilan Agama dalam bentuk fatwa waris. Masyarakat yang mayoritas Muslim lebih mantap jika masalah waris yang mereka hadapi diselesaikan menurut hukum Islam oleh Pengadilan Agama. Produk pengadilan dalam bentuk fatwa yang bersifat declaratoir dianggap lebih akrab dari pada dalam bentuk vonis (putusan).
Prosedur pembuatan fatwa, di mana ada pihak atau pihak-pihak yang secara suka rela mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Atas dasar permohonan ini kemudian Ketua Pengadilan Agama menyelesaikan permohonan tersebut setelah melihat bukti-bukti adanya hubungan kewarisan antara para pemohon dengan pewaris. Bukti tersebut terdiri dari bukti tertulis dan saksi-saksi. Isi dari fatwa waris adalah menetapkan siapa yang menjadi pewaris dan ahli waris serta menetapkan besarnya bagian masing-masing ahli waris.
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama di seluruh Indonesia meraih kewenangannya kembali untuk menyelesaikan sengketa waris seperti yang pernah ada antara tahun 1882-1937. Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mempunyai kewenangan dalam perkara perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan shadaqah.
Dengan adanya kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa waris, Pengadilan Agama dapat menyelesaikan waris dalam bentuk putusan. Sementara itu fatwa waris tidak berlaku lagi sejak lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989. Keberadaan fatwa waris digantikan oleh P3HP atau Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan yang didasarkan pada Pasal 107 ayat (2) UUPA.