Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengatur salah satunya mengenai hak dan kewajiban Wajib Pajak.  Kewajiban Wajib Pajak antara lain mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal  2 UU KUP.

Kewajiban untuk mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap dan jelas, menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak atau tempat lain yang ditetapkan ( Pasal 3 dan 4 UU KUP).  Kewajiban membayar atau menyetorkan pajak yang terutang ke kas Negara (Pasal 10 dan 12 UU KUP).  Serta kewajiban Wajib Pajak sehubungan dengan pemeriksaan (Pasal 29 ayat (3) UU KUP).

Hak-hak Wajib Pajak juga diatur dalam UU KUP. Salah satu hak Wajib Pajak yang diatur dalam UU KUP adalah hak untuk mengajukan keberatan. Hal ini diatur dalam Pasal 25 UU KUP. Tidak semua jenis ketetapan pajak bisa diajukan Keberatan. Keberatan hanya dapat diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak  atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2015 mengatur bahwa pengajuan keberatan untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
  3. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
  4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan;
  5. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal: surat ketetapan pajak dikirim; atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;
  6. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
  7. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP.

Salah satu persyaratan penting dalam pengajuan Keberatan adalah alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan. Alasan yang benar, lengkap, jelas serta didukung dengan bukti-bukti dokumen yang memadai dan valid akan menentukan pengambilan keputusan. Apakah keberatan tersebut akan dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, atau ditolak. Sebaliknya tidak adanya alasan, alasan yang tidak jelas, alasan tidak sesuai sengketa, maupun alasan tanpa didukung bukti, akan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan formal atau ditolak melalui surat keputusan.

Untuk dapat menyusun alasan kuat yang akan dipertimbangkan dalam proses pengajuan Keberatan, Wajib Pajak dapat melakukan beberapa hal. Pertama, pada waktu proses pemeriksaan Wajib Pajak harus mematuhi prosedur pemeriksaan. Memahami hak dan kewajiban pada saat pemeriksaan adalah kuncinya. Termasuk alur dan proses pemeriksaan serta jangka waktunya. Menghadiri undangan pembahasan akhir tentu saja sangat diperlukan. Pada saat pembahasan akhir Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan dari Pemeriksa atau Petugas Pemeriksa Pajak apa saja yang menjadi temuan pemeriksaan.

Koreksi pemeriksa menjadi salah satu hal penting yang menentukan alasan yang akan disampaikan Wajib Pajak saat mengajukan Keberatan. Sering dijumpai pada saat Keberatan Wajib Pajak menyampaikan alasan yang tidak sesuai dengan koreksi Pemeriksa. Hal ini disebabkan Wajib Pajak tidak mengetahui dan memahami dengan benar apa saja yang menjadi koreksi Pemeriksa dan mengapa timbul koreksi.

Oleh karena itu kehadiran Wajib Pajak saat pembahasan akhir sangat berharga. Disamping Wajib Pajak bisa menyanggah hasil temuan Pemeriksa, Wajib Pajak juga bisa mengetahui secara detail apa yang menjadi koreksi Pemeriksa. Mengapa pos-pos tertentu dikoreksi serta darimana Pemeriksa bisa menemukan koreksi tersebut. Hal ini nantinya sangat menentukan alasan yang akan disampaikan Wajib Pajak saat mengajukan Keberatan.

Baca Juga : Memahami Keberataan, Banding dan Peninjauan Kembali

Hal kedua yang dapat dilakukan Wajib Pajak agar dapat menyampaikan alasan yang kuat dan meyakinkan saat mengajukan keberatan adalah meminta keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah DJP, atau Kantor Pusat yang melakukan pemeriksaan pajak. Hak Wajib Pajak ini dijamin oleh Pasal 25 ayat 6 UU KUP. “Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.”

Penjelasan Pasal 25 ayat (6) UU KUP memberikan arahan yang cukup tegas. Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi,  atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.

Hal ketiga dalam menyusun alasan keberatan yang kuat dan meyakinkan adalah benar-benar fokus kepada koreksi pemeriksa. Cermati apakah koreksi tersebut mengenai Peredaran Usaha, Harga Pokok Penjualan, Biaya-Biaya atau Objek PPh atau PPN. Oleh karena itu diperlukan pemahaman Wajib Pajak mengenai hal apa saja yang dikoreksi oleh Pemeriksa.

Jika Wajib Pajak Keberatan atas semua koreksi Pemeriksa maka setiap jenis koreksi harus disebutkan dengan jelas dan disampaikan alasan keberatan atas setiap jenis koreksi. Jika keberatan hanya atas sebagian koreksi saja maka Wajib Pajak cukup memberikan alasan atas koreksi tersebut dan menyatakan tidak Keberatan atas koreksi yang lain. Banyak ditemui Wajib Pajak Keberatan dengan seluruh koreksi tetapi hanya memberikan alasan atas sebagian koreksi atau koreksi tertentu saja. Tentu saja sulit bagi Penelaah Keberatan untuk meneliti Keberatan yang diajukan jika Wajib Pajak tidak menyebutkan alasan Keberatan. Termasuk menyebutkan alasan tetapi alasan tersebut tidak jelas atau kabur.

Hal keempat dan sering dijumpai dalam pengajuan Keberatan adalah jumlah koreksi dan jumlah keberatan yang tidak jelas, tidak sama dan tidak sinkron. Lalu darimana Wajib Pajak bisa mengetahui koreksi Pemeriksa termasuk jumlahnya? Wajib Pajak dapat melihat jumlah koreksi pada saat menandatangani Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Lebih jelas lagi koreksi tersebut terlihat dalam Surat Ketetapan Pajak/Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan. Khususnya di bagian lampiran Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak. Perincian jumlah koreksi dan jumlah yang diajukan keberatan akan sangat membantu para Penelaah Keberatan dalam menelaah Keberatan Wajib Pajak. Apalagi jika Wajib Pajak bisa memerinci jumlah koreksi Pemeriksa yang diajukan Keberatan maupun yang tidak diajukan Keberatan.

Hal terakhir dan cukup penting adalah dasar hukum. Dasar hukum ini berupa aturan yang menjadi alasan bagi Wajib Pajak untuk mengajukan Keberatan. Banyak sengketa perpajakan hanya mengenai dasar hukum. Fiskus menganggap suatu transaksi atau perolehan penghasilan merupakan objek pajak. Sementara Wajib Pajak menganggap hal tersebut bukan merupakan objek pajak atau tidak seharusnya dikenakan pajak. Hal tersebut karena dasar hukum yang digunakan fiskus berbeda dengan yang digunakan Wajib Pajak untuk memutuskan suatu transaksi atau penghasilan termasuk objek pajak atau tidak.

Dalam beberapa kasus fiskus dan Wajib Pajak menggunakan dasar hukum yang sama tetapi memiliki penafsiran yang berbeda atas suatu pasal atau ketentuan. Oleh karena itu penting bagi Wajib Pajak untuk mengetahui dasar hukum koreksi Pemeriksa. Sehingga Wajib Pajak bisa mengkaji apakah penggunaan dasar hukum yang digunakan dalam koreksi sudah tepat.