Menentukan Lembaga Arbitrase
Perlu dipahami bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase (dalam bentuk klausula atau berdiri sendiri) dapat dibuat sebelum atau setelah timbulnya sengketa, hal tersebut berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”).
Pada perjanjian arbitrase yang dimaksud tentunya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c dan d UU 30/1999 para pihak dapat menentukan siapa yang menjadi arbiter atau majelis arbitrase, selain itu para pihak juga dapat menentukan tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan.
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.[1]
Pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak, selain itu juga dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.[2]
Pada artikel Advokat Indonesia Kena Imbas Perpecahan Badan Arbitrase Nasional, dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase memang berkaitan dengan kepercayaan. Ahmad Fikri Assegaf berpendapat bahwa arbitrase itu syaratnya harus punya track record yang bagus.
Melihat pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa dalam menentukan kriteria lembaga arbitrase tentunya didasarkan kepada kredibilitas, kualitas, dan yang utama adalah rekam jejak suatu lembaga arbitrase (nasional maupun internasional) dalam menyelesaikan suatu sengketa.
Baca Juga : Arbitrase, Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan
Pembebanan Biaya Arbitrase
Alfin Sulaiman menyatakan dalam artikel Persamaan dan Perbedaan Arbitrase dengan Mediasi bahwa arbitrase hasilnya bersifat win-lose judgement. Menurut hemat kami, hal tersebut akan berpengaruh kepada siapa yang membayar biaya arbitrase. Karenanya pada perjanjian arbitrase para pihak telah menyatakan kesediaannya untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.[3]
Karena pada perjanjian arbitrase para pihak telah sepakat untuk menanggung biaya yang diperlukan, maka benar biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah, karena pihak yang kalah tersebut membayar biaya arbitrase berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU 30/1999.
Selain itu, yang menentukan biaya arbitrase adalah arbiter, biaya tersebut meliputi:[4]
- honorarium arbiter;
- biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter;
- biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan
- biaya administrasi.
Tetapi dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang.[5]
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[1] Pasal 1 angka 8 UU 30/1999
[2] Pasal 34 UU 30/1999
[3] Pasal 9 ayat (3) huruf h UU 30/1999
[4] Pasal 76 UU 30/1999
[5] Pasal 77 ayat (2) UU 30/1999