Salah satu substansi baru yang tercantum dalam perubahan keempat UUDNRI Tahun 1945 adalah Pasal 34 ayat (2) yang berbunyi: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Berdasarkan landasan yuridis tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang kemudian dalam Pasal 6 Undang-Undang tersebut dicantumkan secara tegas bahwa “Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan Undang-Undang ini dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional”.

Dengan adanya jaminan konstitusional terhadap penyelenggaraan sistem jaminan sosial (social security)maka eksistensi dan peranan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menjadi sangat signifikan dalam upaya pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pertanyaan selanjutnya adalah siapakah DJSN, apa tugas dan fungsinya?

Lembaga Negara Bukan LSM

Seringkali Para Anggota DJSN mengenalkan diri sebagai lembaga “swasta” bukan pemerintah. Pada ceramah dan seminar, Anggota DJSN menerangkan bahwa keanggotaan DJSN berasal dari lembaga pemerintahan, non pemerintahan dan individu sehingga kesimpulannya kelembagaan DJSN adalah lembaga non pemerintah.

Pemahaman ini tidak benar. Sebaliknya, DJSN merupakan bagian dari struktur pemerintahan sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang (state auxiliary organs) dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional dan bukanlah semacam LSM, lembaga swadaya masyarakat (Non-governmental Organization).

Simaklah klasifikasi kelembagaan negara tingkat pusat di Indonesia yang dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie. Pola klasifikasi ini didasarkan pada instrumen hukum yang menjadi landasan pembentukan suatu lembaga negara.

Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa terdapat empat tingkatan kelembagaan negara tingkat pusat di Indonesia, yaitu:

  1. Lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang dasar yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dengan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan keputusan presiden;
  2. Lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan keputusan presiden;
  3. Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dengan keputusan presiden; dan
  4. Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan menteri yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dengan keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah menteri.

Mengacu pada pola klasifikasi tersebut, DJSN dapat dikategorikan sebagai lembaga negara jenis kedua, yakni “Lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dengan peraturan presiden dan keputusan Presiden”. Institusi lain yang dapat menjadi padanan bagi DJSN dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia antara lain Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Dalam kajian teori mengenai lembaga-lembaga negara, institusi-institusi tersebut seringkali dikenal dengan istilah state auxiliary organs atau auxiliary institutions yakni sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Institusi semacam ini umumnya dibentuk untuk lebih menjamin fleksibilitas pengelolaan kegiatan secara otonom bagi kepentingan pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat publik.

DJSN dan Reformasi Ketatanegaraan

Berdirinya lembaga negara penunjang dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) adalah sebagai kenyataan yang tidak dapat dihindari.

Terdapat tuntutan yang nyata, baik karena faktor sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Akibatnya, pemisahan kekuasaan (separation of powers) dalam konsep trias politica yang dipopulerkan oleh Montesquieu tidak dapat lagi dijalankan secara kaku, melainkan berubah menjadi prinsip “pembagian kekuasaan” (distribution of powers). Pelaksanaan prinsip pembagian kekuasaan” (distribution of powers) memunculkan berbagai variasi lembaga-lembaga negara baik berupa dewan (council), komisi (commision), komite (committee), badan (board), otorita (authority), dan lain sebagainya.

Hal ini mengingatkan kita pada fenomena yang terjadi di Inggris pada dekade 60-70’an di mana untuk mengatasi the death of bureaucracy banyak dibentuk lembaga baru yang diharapkan dapat bekerja secara lebih efisien, baik tingkat pusat maupun daerah. Warren G. Bennis, dalam tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy,” menyatakan bahwa hal inidianggap perlu untuk mengatasi kekakuan birokrasi.

Selanjutnya, perkembangan eksistensi dan peranan state auxiliary organs di berbagai negara umumnya dilatarbelakangi oleh dua hal mendasar. Pertama, rapuhnya sistem birokrasi negara yang diwarisi sejak masa lalu. Kedua, karena adanya kesadaran para penentu kebijakan untuk membentuk sistem nilai dan kultur kerja yang lebih efisien seperti yang lazim diterapkan dalam dunia usaha swasta.

DJSN untuk Mengoptimalkan Jamsos

Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja, Tata Cara Pengangkatan, Penggantian, dan Pemberhentian Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (Perpres No. 44/2008) menyebutkan bahwa DJSN adalah Dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional.

DJSN berfungsi untuk melakukan perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan mempunyai tugas:

  1. melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial;
  2. mengusulkan kebijakan investasi dana jaminan sosial nasional; dan
  3. mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Perpres No. 44/2008, Presiden juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 110/M Tahun 2008 yang telah mengangkat dan menetapkan 15 (lima belas) orang dalam keanggotaan DJSN yang terdiri dari

  1. 5 (lima) orang unsur pemerintah;
  2. 6 (enam) orang dari unsur tokoh dan/atau ahli yang memahami dan memiliki keahlian di bidang asuransi, keuangan, investasi dan aktuaria, dan
  3. 2 (dua) orang dari unsur organisasi pemberi kerja/organisasi pengusaha, dan 2 (dua) orang dari unsur dari unsur organisasi pekerja/buruh.

DJSN dipimpin oleh seorang Ketua merangkap anggota yang berasal dari unsur Pemerintah. Adapun masa jabatan anggota DJSN adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. DJSN berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial untuk menjamin terselenggaranya program jaminan sosial dan tingkat kesehatan keuangan BPJS sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada masing-masing BPJS.

Untuk menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya, DJSN memiliki 3 (tiga) komisi, yakni Komisi Pengkajian dan Penelitian, Komisi Investasi dan Keuangan, Komisi Monitoring dan Evaluasi, serta dapat membentuk komisi lainnya sesuai kebutuhan. Seluruh pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanana fungsi dan tugas DJSN dibebankan pada APBN melalui Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesejahteraan rakyat.

Pasal 12 UU SJSN mengatur bahwa “Untuk pertama kali, Ketua dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional diusulkan oleh Menteri yang bidang tugasnya meliputi kesejahteraan sosial”. Selanjutnya, untuk mengangkat dan menetapkan anggota DJSN, Presiden membentuk panitia seleksi berdasarkan usulan Menteri. Anggota Panitia seleksi berasal dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat.

Baca Juga : RUU BPJS Dalam Ranah Politik

Pengangkatan dan penetapan anggota DJSN dalam hal ini merupakan hak preogatif Presiden karena meskipun peraturan perundang-undangan mensyaratkan dibentuknya panitia seleksi terlebih dahulu, namun proses selanjutnya tidaklah memerlukan peranan legislatif (DPR) untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagaimana tindak lanjut hasil kerja panitia seleksi pada umumnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, DJSN dibantu oleh Sekretariat dipimpin oleh seorang Sekretaris tugasnya memberikan dukungan administrasi dan pelayanan operasional untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DJSN. Sekretaris yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Ketua DJSN tersebut dapat dijabat oleh Pegawai Negeri Sipil (disetarakan dengan eselon II/a dan paling rendah menduduki pangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b) atau bukan Pegawai Negeri Sipil. Adapun pembinaan kepangkatan Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan pada DJSN dilakukan oleh instansi induknya dan pangkatnya dapat disesuaikan setingkat lebih tinggi, apabila telah 4 (empat) tahun dalam pangkat terakhir.

Segera Evaluasi Kinerja DJSN

Tidak terasa DJSN telah berdiri dengan keanggotaan dan organisasi lengkap selama 2 tahun lebih. Sudah saatnya kinerja DJSN dievaluasi.

Pelajaran yang sangat berharga dari praktek-praktek perkembangan eksistensi dan peranan state auxiliary organs di berbagai negara adalah perlunya pertimbangan yang matang dan komprehensi serta pengaturan yang jelas terkait dengan organisasi dan tata kerja dari state auxiliary organs tersebut. Sebab, pembentukan state auxiliary organs yang tidak disertai dengan pertimbangan yang matang dan komprehensi serta pengaturan yang jelas justru akan menyebabkan inefisiensi yang pada akhirnya akan mengancam kualitas pelayanan publik (public services).

Oleh karenanya, sebelum DJSN berjalan terlampau jauh, eksistensi dan kinerja DJSN sebagai lembaga baru dalam kerangka kebijakan jaminan sosial perlu ditelaah. Hal ini perlu dipertimbangkan, karena pendirian DJSN tidak terlepas dari mencontoh praktek di negara-negara yang telah lebih dahulu sukses melaksanakan jaminan sosial. Seperti negara-negara berkembang lainnya, Indonesia seringkali terjebak dalam “penyakit” inferiority complex. Kitamudah kagum dan meniru begitu saja hal-hal yang dipraktekkan di negara maju tanpa disertai kesiapan sosial budaya dan kelembagaan masyarakatnya.

Menanti BPJS

Kewenangan DJSN untuk melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial oleh empat badan penyelenggara yang ada sangat penting dilakukan. Hasil monitoring dan evaluasi diperlukan untuk menentukan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN, termasuk untuk transformasi empat badan penyelenggara tersebut. Hal ini karena menurut Pasal 52 ayat (2) UU SJSN keempat badan penyelenggara wajib menyesuaikan semua ketentuan yang mengaturnya dengan UU SJSN, dalam waktu paling lama lima tahun sejak 19 Oktober 2004.

Lahirnya UU tentang BPJS sudah sangat mendesak sebagai pelaksanaan UU SJSN pasca putusan MK tanggal 31 Agustus 2005.

Kita berharap bahwa pembahasan RUU tentang BPJS yang sedang berlangsung di DPR dapat segera selesai sesuai dengan hasil yang diharapkan oleh para pihak yang terkait dengan sistem jaminan sosial nasional. Dalam proses pembahasan RUU tersebut, berdasarkan Surat Presiden Nomor R.70/Pres/09/2010, Presiden menunjuk Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN, Menteri Sosial, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, untuk mewakili Presiden membahas RUU tersebut bersama dengan DPR.

Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang layak dan peningkatan martabat setiap orang melalui sistem jaminan sosial nasional menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur mudah-mudahan akan segera terlaksana.

 

Sumber : http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/umum/960-djsn-sebagai-state-auxiliary-organs-dalam-kerangka-sjsn.html