Di Indonesia sendiri, minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini meningkat semenjak diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun beberapa hal yang menjadi keuntungan Arbitrase dibandingkan menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi adalah : 1) Sidang tertutup untuk umum ; 2) Prosesnya cepat (maksimal enam bulan) ; 3) Putusannya final dan tidak dapat dibanding atau kasasi ; 4) Arbiternya dipilih oleh para pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas atau moral yang tinggi ; 5) Walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada ‘biaya-biaya lain’ ; hingga 6) Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak. Dalam ruang lingkup internasional, Indonesia maupun pihak-pihak dari Indonesia juga acap kali menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase. Beberapa contoh kasusnya adalah : 1) Sengketa antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004 sampai 2007 ; 2) Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan melaluiSingapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008 ; 3) Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan melalui ICSID, Singapore ; hingga 4) Sengketa antara Newmont melawan Pemerintah Indoesia yang diselesaikan di ICSID, Washington DC.
Baca Juga : Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Seiring perkembangannya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini menemui beberapa permasalahan. Masalah utama adalah terkait dengan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase. Dalam ruang lingkup internasional, putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia apabila tidak bertentangan dengan ketertiban umum, telah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta apabila salah satu pihak dalam sengketa adalah Negara Republik Indonesia maka hanya dapat dilaksanakan setelah ada eksekuatur dari Mahkamah Agung – RI. Permasalahannya, pengadilan di Indonesia seringkali “dicap” enggan untuk melaksanakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan alasan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum. Lain permasalahan, dalam ruang lingkup nasional pelaksanaan putusan arbitrase juga seringkali terhambat akibat kurangnya kemampuan dan pengetahuan arbiter Indonesia yang berakibat penundaan putusan arbitrase.