Pasca terbitnya juklak terbaru dari Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak, pro kontra merebak. Wajib Pajak yang telah ikut Amnesti Pajak pun ikut ketar-ketir dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 tanggal 6 September 2017 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Penghasilan.
Pasalnya, sebagian pengamat perpajakan menafsirkan harta yang telah dilaporkan Wajib Pajak dalam Amnesti Pajak juga dapat dikoreksi ulang jika dianggap nilainya tak wajar oleh aparat pajak melalui mekanisme penetapan secara jabatan. Bahkan ada praduga instrumen ini akan dipergunakan secara sewenang-wenang oleh aparat pajak untuk kejar target penerimaan. Bagaimanakah fakta sebenarnya?
Jika dilihat dari Pasal 2 PP No 36 tahun 2017 terlihat bahwa tak hanya mereka yang belum mengikuti Amnesti Pajak yang disasar juklak UU Pengampunan Pajak ini, bahkan Wajib Pajak yang telah ikut Amnesti Pajak.
Ada tiga kriteria harta Wajib Pajak yang bisa dijadikan objek pajak yaitu: harta bersih tambahan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH), harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPH, dan harta bersih yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh.
Yang dimaksud dengan harta bersih di sini adalah harta tambahan dikurangi utang terkait perolehan harta tambahan yang belum dilunasi.
Untuk kriteria pertama dan kedua PP No 36 tahun 2017 ini memang menyasar Wajib Pajak yang telah ikut Amnesti Pajak, sedangkan kriteria ketiga sasarannya adalah Wajib Pajak yang belum ikut dan belum melaporkan hartanya dalam SPT Tahunan PPh, bisa karena kesengajaan ataupun keteledoran.
Mari kita telaah lebih jauh maksud dari harta bersih tambahan dalam SPH, yakni adalah harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) UU Pengampunan Pajak yaitu jika Wajib Pajak terbukti tidak melakukan repatriasi dan menginvestasikan hartanya dalam wilayah NKRI selama 3 tahun atau mengalihkan harta ke luar NKRI sebelum jangka waktu 3 tahun. Maka atas harta yang telah dilaporkan dalam SPH akan diperlakukan sebagai penghasilan 2016 dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) perpajakan.
Untuk harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam SPH, kemungkinan yang bisa terjadi adalah Wajib Pajak melaporkan harta bersih dalam SPT Tahunan PPh Terakhir (SPT Tahunan tahun 2015) yang disampaikan setelah berlakunya UU Pengampunan Pajak (setelah 1 Juli 2016), tetapi tidak mencerminkan harta bersih yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum SPT Tahunan PPh Terakhir (SPT Tahunan tahun 2014).
Dalam hal ini, ada indikasi penggelembungan harta yang seharusnya diikutkan dalam Amnesti Pajak. Maka atas harta yang ditemukan akan diperlakukan sebagai penghasilan tahun berjalan dan dikenai pajak ditambah sanksi 200%.
Perbedaan yang mendasar bagi Wajib Pajak yang telah ikut Amnesti Pajak dengan yang tidak adalah: atas harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015, kewajiban perpajakannya dianggap selesai bagi yang telah ikut, kecuali bagi mereka yang memang kurang melaporkan hartanya dalam SPH atau yang urung melakukan repatriasi. Namun, perlakuan sebaliknya bagi yang tidak ikut Amnesti Pajak.
Bagi yang tidak ikut Amnesti Pajak, jika Ditjen Pajak menemukan data atas harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, maka bisa ditetapkan pajak secara jabatan. Ditjen Pajak mengedepankan asas keadilan dengan mengenakan beban pajak yang merata kepada seluruh warga negara yang belum melakukan kewajiban perpajakannya.
Juklak ini mengenakan PPh Final dengan tarif 25% untuk Wajib Pajak badan, 30% untuk Wajib Pajak orang pribadi, dan 12,5% bagi Wajib Pajak tertentu yang memiliki penghasilan bruto dari usaha paling banyak Rp4,8 miliar dan selain usaha/pekerjaan bebas paling banyak Rp632 juta. Jika tarif ini dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu dari harta yang dianggap penghasilan, silakan hitung sendiri berapa pajak yang harus ditunaikan beserta sanksinya.
Baca Juga : Ketahui Kedudukan Hukum Pajak di Indonesia
SANKSI
Tingginya sanksi yang dikenakan bagi Wajib Pajak yang telah mengikuti Amnesti Pajak tetapi belum/kurang mengungkapkan hartanya dalam SPH adalah sebagai sarana penegakan hukum Ditjen Pajak terhadap self assessment system yang telah diterapkan selama berlangsungnya Amnesti Pajak.
Diskon tarif pajak yang sangat besar telah diberikan kepada Wajib Pajak melalui Amnesti Pajak. Bahkan Wajib Pajak juga diberi wewenang untuk menilai sendiri hartanya secara wajar. Dan penilaian yang dilakukan Wajib Pajak tidak akan diutak-atik lagi, itulah yang ingin ditegaskan dalam juklak ini.
Pastinya ada alasan yang logis dan masuk akal kenapa bagi Wajib Pajak yang telah mengikuti Amnesti Pajak, tetapi ingkar melakukan repatriasi dan menginvestasikan hartanya di NKRI atau mengalihkan harta ke luar NKRI sebelum jangka waktu 3 tahun, atas harta yang sudah dilaporkan dalam SPH akan diperlakukan sebagai penghasilan di tahun 2016.
Dengan pertimbangan untuk kepentingan nasional yang lebih besar, maka hukum harus ditegakkan. Jika harta dari repatriasi diinvestasikan ke dalam negeri dan digunakan untuk membangun infrastruktur vital, maka akan menjadi stimulus penggerak roda perekonomian nasional.
Di sini, negara memiliki wewenang untuk mengontrol pelaksanaan self assessment system apakah berjalan sesuai dengan harapan atau tidak. Karena pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum sebagaimana dinyatakan P.J.A Adriani dalam Pengantar Ilmu Hukum Pajak (2005).
Dan penegakan hukum di bidang perpajakan tersebut harus segera dilakukan, mengingat berakhirnya batas waktu penyampaian SPH pada 31 Maret 2017, dan DJP hanya diberikan waktu sampai dengan 30 Juni 2019 untuk menemukan data atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.
Bukan pekerjaan yang mudah memang. Maka diperlukan dukungan semua stakeholder agar program ini berhasil.
Dimuat di Bisnis Indonesia (Sabtu 18/11/2017)