Selama beberapa dekade, masyarakat menganggap bahwa pelanggaran di bidang perpajakan hanya cukup diselesaikan dengan tindakan administratif seperti imbauan, klafirikasi, atau pemeriksaan. Ada yang bahkan menunggu Dirjen Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak. Jika terdapat sengketa pajak, tanpa ragu wajib pajak mengajukan keberatan bahkan banding ke pengadilan pajak. Kita seolah-olah abai terhadap kenyataan bahwa pelanggaran yang dilakukan wajib pajak dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana jika memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana diatur dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Banyak modus wajib pajak melakukan tindak pidana pajak, di antaranya menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS), memotong/memungut pajak tapi tidak menyetorkannya ke kas negara, dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. Selain itu, wajib pajak bisa saja melakukan tindak pidana lainnya seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang bisa jadi mengiringi pidana pajak sebagai predicate crime.
Baru-baru ini Menteri Keuangan melantik Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak menggantikan Robert Pakpahan. Terhitung sejak awal November 2019, DJP resmi dinahkodai Dirjen baru. Kalangan dunia usaha berharap agar Dirjen Pajak dapat menciptakan kebijakan dan kinerja perpajakan yang lebih baik. Di sisi lain, fakta menunjukkan capaian penerimaan pajak hingga akhir Oktober 2019 yang belum menggembirakan. Diprediksi, realisasi penerimaan pajak tahun ini shortfall sekitar Rp140 triliun dari target APBN sebesar Rp1.577,56 triliun, atau hanya tercapai sekitar Rp1.315,91 triliun (91 persen). Penegakan hukum pajak juga berada di pundak beliau sebagai pucuk pimpinan tertinggi di DJP.
Administratif vs Pidana
Pencapaian penerimaan pajak hendaknya dilakukan bukan hanya dengan pendekatan persuasif administratif. Jika terdapat indikasi pidana yang dilakukan oleh wajib pajak, DJP tidak boleh ragu untuk memprosesnya melalui pemeriksaan bukti permulaan dan jika perlu sampai ke penyidikan. Tentu tidak ada maksud untuk menakut-nakuti, tetapi semua pihak juga perlu tahu bahwa penegakan hukum adalah bagian dari proses bisnis di DJP. Muaranya adalah pemberian efek jera dan peningkatan wajib pajak. Jika wajib pajak patuh, insya Allah penerimaan pajak akan meningkat.
Hampir semua negara yang memungut pajak, kepatuhan wajib pajak selalu menjadi persoalan. Hal ini disebabkan polarisasi antara “kewajiban yang memaksa” bagi setiap warga negara untuk membayar pajak dan tabiat manusia yang tidak mudah melepaskan harta atau uang yang selama ini menjadi haknya. Dua kutub itu menciptakan ruang yang memungkinkan warga negara untuk tidak patuh terhadap kewajiban membayar pajak. Bahkan, beberapa orang malah melakukan tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pajak baik karena alpa maupun sengaja.
Selama kurun waktu 2014 s.d. 2018 DJP telah menyelesaikan penyidikan tindak pidana pajak yang berkasnya dinyatakan lengkap (P-21) sebanyak 425 berkas perkara. Jumlah tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan potensi wajib pajak melakukan tindak pidana. Namun, faktor keterbatasan jumlah penyidik dan pengungkapan kasus yang memerlukan waktu yang tidak sedikit, ditambah lagi dengan kepentingan menyelesaikan kekurangan bayar wajib pajak melalui tindakan administratif, penyelesaian P-21 seperti di atas sudah cukup bagus.
Di wilayah Sumatera Barat dan Jambi, misalnya, vonis 3 tahun penjara dan denda lebih dari Rp6 milyar subsider 6 bulan penjara dijatuhkan Pengadilan Negeri Jambi kepada direktur utama PT Jambi Jaya Makmur (bergerak di bidang jual-beli solar). Demikian pula di wilayah lain, banyak kasus pidana pajak sudah diputus pengadilan dan pelakunya dipenjara dan didenda.
Baca Juga : Prosedur Aturan Baru Permintaan Penyelesaian Sengketa Perpajakan
Pemberian hukuman pidana bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ada proses panjang yang dimulai dari pemeriksaan bukti permulaan. Pada tahap ini, pemeriksa bukti permulaan berupaya mencari setidaknya dua bahan bukti yang menguatkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana pajak. Namun, wajib pajak diberi kesempatan menyelesaikan pembayaran pokok ditambah denda sebesar 150% sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU KUP agar proses pemeriksaan bukti permulaan dihentikan. Jika pembayaran tidak diselesaikan, penyidik akan meningkatkan status pemeriksaan bukti permulaan menjadi penyidikan.
Dalam tahap penyidikan, penyidik akan melakukan tindakan pro justicia dengan memanggil tersangka, saksi, dan ahli untuk diperiksa. Pada tahap akhir, penyidik membuat berkas perkara dan melimpahkannya ke kejaksaan. Upaya ini dapat dihentikan jika wajib pajak menyelesaikan pembayaran kerugian negara sebesar pokok ditambah denda empat kali lipat Pasal 44 ayat (2) UU KUP). Jika tidak dilakukan, penyidikan akan berlanjut menjadi penuntutan dan persidangan di pengadilan. Biarkan hakim yang memutuskan hukuman apa yang layak bagi pelaku pidana pajak.
Jika ditanyakan kepada hati nurani tentang tindakan penyidikan yang berakhir pada hukuman penjara dan denda, tentu tidak ada orang yang ingin merampas kemerdekaan orang lain. Kita sangat menghormati hak orang untuk menikmati kebebasan termasuk bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga. Tapi, kecurangan sebagian orang untuk mengambil keuntungan dengan melakukan kejahatan di bidang pajak tentu merugikan penerimaan negara yang berarti juga merugikan hak warga negara lainnya untuk mendapatkan kesejahteraan. Kezalilman harus diputus dengan cara memberikan hukuman pidana.
Jadi, tujuan penindakan pidana pajak sebagai cara terakhir memperbaiki perilaku wajib pajak (ultimum remidium) adalah membuat wajib pajak lebih patuh terhadap aturan perpajakan dan menimbulkan efek jera (deterrent effect) kepada para pelanggar peraturan perpajakan. Bukan hanya terhadap wajib pajak sebagai pelaku, namun juga wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, dan pihak lain yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Namun, upaya DJP melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hendaknya tidak semata-mata memenuhi target kuantitas saja. Agar menimbulkan efek jera dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, perlu dilakukan upaya-upaya mendorong efektivitas penyidikan pajak. Pertama, menambah personel penyidik pajak. Jumlah penyidik pajak aktif di DJP saat ini sebanyak 645 orang dari total 1.477 pegawai yang sudah mengikuti pendidikan dan dilantik. Itu artinya masih banyak tenaga terdidik yang belum digunakan sepenuhnya dalam upaya penegakan hukum pajak. Ibarat anak panah, para penyidik ini tinggal menunggu kapan ia akan dilepas dari busurnya untuk menancap ke sasaran.
Kedua, mengintensifkan pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang pidana asalnya (predicate crime) berupa tindak pidana di bidang perpajakan. Kerja sama dengan OJK dan PPATK dalam penegakan hukum dan pertukaran informasi perlu terus ditingkatkan. Ketiga, mengintensifkan penyidikan kasus tindak pidana perpajakan terhadap pengguna faktur pajak TBTS karena biasanya melibatkan banyak pihak. Keempat, meningkatkan koordinasi dengan Korwas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Polri dan Kejaksanaan dalam kegiatan penyidikan. Kelima, meningkatkan kapasitas jaksa melalui penyelenggaraan diklat perpajakan untuk membantu jaksa dalam penyelesaian kasus tindak pidana pajak. Keenam, dukungan tenaga forensik digital dalam proses penyidikan terutama dalam pengumpulan dan pengolahan barang bukti digital.
Di lapangan, penindakan kasus pidana pajak bukan tanpa kendala. Perlawanan wajib pajak bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara mulai dari mempersoalkan hal-hal yang bersifat administratif sampai melaporkan penyidik pajak ke kepolisian. Target utamanya jelas: mengagalkan tindakan penyidikan. Padahal Pasal 36A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menyatakan bahwa pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sebagai negara yang besar, kita membutuhkan biaya pembangunan yang tidak sedikit. Tahun 2019 pemerintah menargetkan belanja negara sebesar Rp2,461,1 triliun. Sebagaimana dikemukakan di awal tulisan, pajak diharapkan mampu memberi kontribusi penerimaan sebesar Rp1.577,6 triliun. Sementara di tahun 2020, pemerintah menargetkan belanja negara sebesar Rp2.540,4 triliun, dan Rp1.861,8 triliun di antaranya disokong oleh penerimaan pajak.
Tindak pidana pajak bukan saja merugikan penerimaan negara, tetapi juga mereka yang berhak atas kesejahteraan dan pelayanan dari negara. Maka, setiap pelaku kejahatan tindak pidana pajak sudah selayaknya mendapatkan hukuman agar memberikan efek jera bagi siapapun baik pelaku maupun orang yang turut serta melakukan tindak pidana. Kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sangat diharapkan dalam rangka mendukung tercapainya penerimaan negara.
Source : https://pajak.go.id/